Rabu, 17 Oktober 2012

Masalah Rusunawa dan Kenaikan PBB di Jakarta

Ada berita menggemparkan di Detik.com dengan judul: "Ahok: Orang Berduit Disuruh Pindah ke Luar Jakarta, PBB Ditinggikan". Berita tsb muncul Rabu, 17/10/2012 16:52 WIB, namun Kamis jam 8 pagi saja sudah menuai 396 komentar yang 80%nya tidak setuju.


Saran saya sih sebaiknya Konsep Perumahan Terpadu itu tidak menggeser orang Jakarta ke luar Jakarta. Baik itu orang kaya, Sebab kalau orang harus pergi ke luar kota karena harus bekerja, itu kurang manusiawi.



Cuma diatur bagaimana caranya, supaya orang kaya rumahnya di Jakarta tidak sampai lebih dari 1000 m2. Cukup 100-200 m2 saja, sehingga yang lain juga kebagian. Begitu.


Seandainya ada yang punya tanah seluas 1000m2, PBB bisa dibuat mahal sehingga dia menjual rumah itu ke Pemda untuk dijadikan Rusunawa. Sebaliknya rumah warga Jakarta menengah ke bawah yang luasnya 300 m2 atau kurang, jangan dinaikkan harga PBBnya karena itu akan mencekik rakyat. Mungkin ada yang bilang, luas tanah 300 m2 kok menengah ke bawah? Ya memang banyak yang begitu. Karena rumah warisan umumnya luas-luas. Kecuali rumah-rumah baru yang ada di real estate. Selain itu di Jakarta memang banyak yang jadi mantan orang kaya. Bapak/kakeknya mungkin kaya, tapi anak dan cucunya bisa jadi miskin meski rumah dan tanah mereka luas. Karenanya ada yang tanahnya luas, tapi rumahnya kumuh dan tua/tidak terawat.


Jumlah pemilih Pilkada kemarin 6,9 juta orang. Yang tinggal di rumah susun atau kontrak paling cuma 20%. Artinya ada 5,5 juta warga yang tinggal di rumah sendiri/warisan. Jadi kalau PBB dinaikkan semua, mereka akan menderita dan bisa berontak (termasuk saya...:) Soalnya selain Rusunawa kurang menarik bagi pemilik rumah biasa, sewa Rp 1 juta/bulan itu juga lumayan besar. Tidak murah! Ingat, UMR Jakarta cuma Rp 1,5 juta. Idealnya  sewa tidak lebih dari Rp 300 ribu/bulan.


Jadi Definisi "Orang Berduit" di sini harus diperjelas. Tetapkan dulu 1.000 m2 agar tidak banyak yang protes. Semakin turun luas tanahnya, akan makin banyak yang protes. Kenaikan juga harus bertahap agar tidak terjadi gejolak. Misalnya 30% per tahun. Ini untuk memberi kesempatan mereka untuk menjual rumahnya.


Sekali membuat kebijakan, Pemda tidak boleh mundur. Kalau sampai mundur, malu (kecuali jika kebijakan tsb benar-benar buruk). Oleh karena itu, konsep Kebijakan harus dirundingkan bersama seluruh pihak yang terlibat. Ini agar matang dan diterima semua pihak.


Dari rumah 1000 m2, itu nanti bisa dibuat rumah susun 5 lantai. Jika tiap lantai ada 40 unit rumah untuk keluarga inti, maka 5 lantai bisa menampung 100-200 keluarga (@20-40m2). Jadi luas tanah 1000 m2 yang tadinya cuma menampung 1 keluarga, nanti bisa menampung 100-200 keluarga. Kenapa cuma 5 lantai, agar hemat listrik dan pemeliharaannya mudah jadi tidak perlu pakai lift. Kalau lebih dari itu, capek.


Konsep pembangunannya pun dipikirkan. Apakah diserahkan ke pemilik tanah, tapi Pemda tidak perlu membayar harga tanah, cukup membangun rusun, atau 100% diambil-alih Pemda?


Jika pemilik tanah tetap memiliki tanah, maka dengan 200 unit rusun dengan sewa Rp 1 juta/bulan, didapat Rp 2,4 milyar/tahun. Dalam 10 tahun didapat Rp 24 milyar. Jadi saat Pemda mengeluarkan uang Rp 12 milyar untuk pembangunan dan sewa rumah selama 2 tahun bagi pemilik tanah, dalam 10 tahun uang itu kembali dengan sistem bagi hasil separuh untuk si pemilik tanah yang sekarang jadi bos Rusun.


Kemudian pembuatan rumah susun sebaiknya prioritas utamanya adalah perumahan kumuh dulu dan bangunan yang tidak terpakai/terlantar seperti contohnya Menara Saidah di bilangan Cawang Jakarta Timur.


Jika itu sudah stabil, baru rumah dengan luas tanah 500 m2 ke atas PBBnya dinaikkan juga secara bertahap. Sehingga maksimal luas rumah di Jakarta nantinya cukup 200 m2 untuk setiap keluarga.



Pembangunan gedung perkantoran dan Mal pun harus disebar. Jangan biarkan menumpuk di tengah kota / downtown. Konsep Pemukiman Terpadu harusnya membuat tempat aktivitas sehari-hari seperti Rumah-Kantor-Sekolah-Pasar itu berada dalam radius 500 meter atau kurang. Jadi bisa ditempuh dengan jalan kaki atau sepeda. Nanti ada fasilitas lain seperti Taman atau Kesehatan yang bisa dikunjungi seminggu sekali dengan jarak bisa lebih jauh dari itu.


Kota Besar yang baik harus terdiri dari Sel-Sel Independen yang terpadu. Jadi bisa mencukupi sebagian besar kebutuhannya secara mandiri.




Ahok: Orang Berduit Disuruh Pindah ke Luar Jakarta, PBB Ditinggikan


Jakarta Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo punya konsep untuk mengurai kemacetan di Jakarta. Salah satunya, orang-orang berduit diminta tinggal di luar Jakarta dan pajak bumi bangunan (PBB) di Jakarta akan dibuat tinggi.


Konsep ini dijelaskan oleh Wagub DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di ruang kerjanya, di lantai 2 Gedung Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Rabu (17/10/2012).


Ahok mengatakan Jokowi ingin menyediakan rumah sewa terjangkau khususnya untuk ruangan-ruangan dinas yang kosong di Balai Kota akan dijadikan apartemen terpadu dengan biaya Rp 1 juta per bulan.


"Jadi apartemen terpadu konsepnya untuk orang-orang dari ekonomi kecil yang tidak bisa membeli rumah di kawasan Jakarta," ujar Ahok.


Menurut dia, hal itu juga berlaku untuk kawasan di sepanjang rel kereta api. "Nanti kami akan membangun rumah-rumah dengan sewa terjangkau dan ini merupakan salah satu solusi kami untuk mengatasi kemacetan," kata Ahok.


"Konsepnya di sini, orang-orang kaya disuruh tinggal di luar Jakarta seperti Bekasi atau Tangerang. Sementara untuk orang-orang yang ekonomi rendah, bisa tinggal di apartemen terpadu tersebut," lanjut dia.


Dikatakan Ahok, pihaknya juga membebaskan beberapa lahan kosong lain untuk dijadikan apartemen terpadu ini.


"Jadi di sini kenapa orang kaya pindah ke luar kota karena nanti kami akan menjadikan PBB di Jakarta ini tinggi sehingga mereka memilih tinggal di luar Jakarta. Kan mereka punya kendaraan. Ini merupakan salah satu solusi kami mengatasi kemacetan," kata eks Bupati Belitung Timur ini.


Selain itu, lanjut Ahok, akan ada perubahan terhadap bensin bersubsidi di Jakarta yaitu tidak melebihi 10 persen dari pendapatan. "Kalau hal ini tercapai maka ekonomi kita akan kuat," kata dia.


(aan/nrl)


http://news.detik.com/read/2012/10/17/165253/2065267/10/ahok-orang-berduit-disuruh-pindah-ke-luar-jakarta-pbb-ditinggikan?n990102mainnews



PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB)


Tarif Pajak
( Pasal 5 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 )
Tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5 % (lima persepuluh persen).


Dasar Pengenaan PBB
( Pasal 6 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 jo. Pasal 2 (3) KMK-523/KMK.04/1998)
Yang menjadi Dasar Pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Besarnya Nilai Jual Objek Pajak ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan daerahnya.
Meskipun pada dasarnya penetapan nilai jual objek pajak adalah 3 (tiga) tahun sekali, namun untuk daerah tertentu yang karena perkembangan pembangunan mengakibatkan nilai jual objek pajak cukup besar, maka penetapan nilai jual ditetapkan setahun sekali. Dalam menetapkan nilai jual, Menteri Keuangan mendengar pertimbangan Gubernur serta memperhatikan asas self assessment.
Nilai jual sebagai Dasar Pengenaan PBB dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok A dan kelompok B (KMK-523/KMK.04/1998).
Dalam hal ada objek pajak yang nilai jual per M2 nya lebih besar dari ketentuan Nilai Jual Objek Pajak, Nilai Jual Objek Pajak yang terjadi di lapangan tersebut digunakan sebagai dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.


Dasar Penghitungan Pajak
( Pasal 6 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 jo. PP No.25 Tahun 2002).
Yang menjadi dasar penghitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (assessment value) atau NJKP, yaitu suatu persentase tertentu dari nilai jual sebenarnya. NJKP ditetapkan serendah-rendahnya 20% (dua puluh persen) dan setinggi-tingginya 100% (seratus persen).
Besarnya persentase NJKP ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional.
Contoh :
Nilai jual suatu objek pajak sebesar Rp 1.000.000,00 persentase Nilai Jual Objek Pajak misalnya 20% maka besarnya Nilai Jual Kena Pajak : 20% x Rp 1.000.000,00 = Rp200.000,00


Dasar Penghitungan Pajak
( Pasal 7 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994).
Secara umum besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP), atau lebih lengkapnya sebagaimana diuraikan pada rumus dibawah ini:
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOTKP)
Nilai Jual Objek Pajak Kena Pajak (NJOPKP)


Nilai Jual Kena Pajak (NJKP)
= 20% X NJOPKP (untuk NJOP < 1 Miliar); atau
= 40% X NJOPKP (untuk NJOP 1 Miliar atau lebih)
Besarnya PBB terutang = 0,5 % X NJKP


http://www.tarif.depkeu.go.id/Bidang/?bid=pajak&cat=pbb


Berikut beberapa diskusi yang umumnya memprotes konsep tsb:


http://forum.detik.com/spektakuler-dari-ahok-orang-berduit-disuruh-pindah-ke-luar-jakarta-p21678565.html#post21678565


http://www.kaskus.co.id/showthread.php?t=16993744


http://forum.detik.com/spektakuler-dari-ahok-orang-berduit-disuruh-pindah-ke-luar-jakarta-p21681803.html#post21681803

Tidak ada komentar:

Posting Komentar