Di masjid Nabawi dan masjidil haram, bayi dan balita diajak ke masjid sehingga mereka dekat dgn masjid sejak kecil. Tak heran masjid tsb selalu full siang dan malam. Nabi sendiri sering mempersingkat bacaan agar tak merepotkan ibu2 yg membawa anak kecil.
Di Indonesia anak kecil cenderung dilarang. Bahkan jika shalat di depan sering diusir ke belakang. Akibatnya anak2 tak berani ke masjid. Dan banyak tetap begitu hingga dewasa. Tak heran masjid di Indonesia banyak yg sepi terutama waktu subuh, dzuhur, dan ashar. Ini berdasarkan pengamatan saya selama beberapa kali ke sana. Silahkan lihat: http://agusnizami.wordpress.com/
Masjid Nabawi dan Masjidil Haram senantiasa ramai meski jam 1-2 malam.
Kebetulan 5 hari lalu saya masih di Mekkah. Sempat mendengar tangis anak2 karena di sampingnya ada tempat shalat wanita. Kemudian saat Dzuhur alhamdulillah bisa shalat di depan Ka'bah meski panas 51 derajad celsius. Namun jika fokus ibadah kpd Allah, semua itu tak terasa.
Khusyuk itu dari hati kita dalam berhubungan dgn Allah. Bukan dipengaruhi faktor luar seperti suara anak kecil, dsb. Nabi dan para sahabat dapat shalat khusyuk meski mendengar rengekan anak kecil, digigit ular, kena panah musuh, bahkan suara genderang perang musuh yg mengancam.
Di Sumbar anak2 yg belum tidur di masjid dianggap belum dewasa. Sementara di
Kalsel anak2 balita biasa dibawa shalat jama'ah di masjid. Walhasil dulu masjidnya ramai dan banyak ulama lahir dari Sumbar dan Kalsel.
Demikian pula dengan larangan tidur di masjid, sebetulnya itu menjauhkan ummat dari masjid.
Zaman Nabi ada ahli Suffah seperti Abu Hurairah yang tidur di Suffah (bagian dari Masjid). Ali ra sendiri pernah tidur di masjid.
Anas bin Malik : tiba rombongan dari Ukl menemui nabi shollallohu alaihi wasallam, mereka di tampung di shuffah (di masjid) [HR Bukhori]
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْتَ فَاطِمَةَ فَلَمْ يَجِدْ عَلِيًّا فِي الْبَيْتِ فَقَالَ أَيْنَ ابْنُ عَمِّكِ قَالَتْ كَانَ بَيْنِي وَبَيْنَهُ شَيْءٌ فَغَاضَبَنِي فَخَرَجَ فَلَمْ يَقِلْ عِنْدِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِإِنْسَانٍ انْظُرْ أَيْنَ هُوَ فَجَاءَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هُوَ فِي الْمَسْجِدِ رَاقِدٌ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُضْطَجِعٌ قَدْ سَقَطَ رِدَاؤُهُ عَنْ شِقِّهِ وَأَصَابَهُ تُرَابٌ فَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُهُ عَنْهُ وَيَقُولُ قُمْ أَبَا تُرَابٍ قُمْ أَبَا تُرَابٍ
Dari Sahl bin Sa'd berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam datang ke rumah Fatimah namun 'Ali tidak ada di rumah. Beliau lalu bertanya: "Kemana putera pamanmu?" Fatimah menjawab, "Antara aku dan dia terjadi sesuatu hingga dia marah kepadaku, lalu dia pergi dan tidak tidur siang di rumah." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepada seseorang: "Carilah, dimana dia!" Kemudian orang itu kembali dan berkata, "Wahai Rasulullah, dia ada di masjid sedang tidur." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mendatanginya, ketika itu Ali sedang berbaring sementara kain selendangnya jatuh di sisinya hingga ia tertutupi debu. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membersihkannya seraya berkata: "Wahai Abu Thurab, bangunlah. Wahai Abu Thurab, bangunlah." [HR Bukhori Muslim]
Saat i'tikaf di mana seseorang tidak boleh keluar dari masjid kecuali ada hal yang amat penting pun menandakan bahwa tidur di masjid itu boleh. Yang penting posisinya tidak mengganggu orang shalat dan lalu lintas masjid serta yang bersangkutan tidak dalam keadaan junub.
.
http://omanes.blogspot.com/2011/04/tidur-di-masjid.html
Perempuan membawa anak/bayi saat shalat berjama'ah bersama Nabi:
Sahih Bukhari:
Bab Ke-65: Orang yang Meringankan Shalat Ketika Terdengar Suara Tangis Bayi
389. Abi Qatadah r.a. mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda, “Aku sedang mengerjakan shalat dan mau memperpanjangnya, namun aku mendengar tangis anak kecil. Lalu, aku ringkas (ringankan) shalatku, karena aku tidak senang untuk menyusahkan ibunya.”
390. Anas bin Malik berkata, “Aku tidak pernah shalat di belakang seorang imam yang shalatnya lebih ringan dan lebih sempurna daripada Nabi. Beliau memperpendek shalat apabila beliau mendengar tangis seorang bayi, karena takut ibu anak itu merasa menderita.”
391. Anas bin Malik mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda, “Pada waktu mulai shalat, aku bermaksud untuk memanjangkannya. Tetapi, setelah mendengar tangis seorang bayi, aku memendekkannya. Karena, aku mengetahui betapa perasaan hati ibunya mendengar tangis bayi itu.”
“Rasulullah saw shalat bersama sahabatnya, lalu beliau sujud. Ketika itu datanglah Hasan yang tertarik melihat Rasulullah saw sedang sujud, lalu naiklah Hasan ke punggung Rsulullah SAW yang mulia saat beliau sedang sujud. Rasul memanjangkan sujudnya agar tidak menyakiti Hasan. Usai shalat, ia meminta maaf kepada jamaah shalat dan mengatakan, “anakku tadi naik ke punggungku lalu aku khawatir bila aku bangun dan menyakitinya. Maka aku menunggu sampai ia turun.” (HR. An Nasai)
Dari Abû Qatâdah radhiyallâhu'anhu, dia berkata:
“Aku melihat Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam mengimami shalat, sedangkan Umâmah bintu Abil ‘Ash, putri Zainab putri Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam, berada di atas pundak beliau.
Jika beliau rukû’, beliau meletakkannya, dan jika bangkit dari sujud beliau mengulanginya (yakni menaruh cucunya di pundaknya lagi-red)”.[HR. Bukhâri, no. 516; Muslim, no. 543, dan ini lafazh imam Muslim]
Hadits-hadits di atas menunjukkan bolehnya membawa bayi/anak dalam shalat berjama'ah.
Meski demikian, sekiranya orang tua tahu jika anaknya itu terlampau super (di luar batas kewajaran) dalam mengganggu yang jema'ah lainnya, ada baiknya mendidik anaknya sebaik-baiknya terlebih dulu sehingga tidak terlampau mengganggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar