Saya punya pengalaman dengan banjir. Pada Februari 2002, saya berenang di jalan Asem hingga jalan Otista Raya menjaga perahu karet yang membawa istri dan mertua saya. Saat itu istri saya hamil tua (8 bulan) sementara mertua lumpuh.
Baru kali itu saya berenang di jalan!
Sedang pada banjir besar Februari 2007, pada malam Sabtu tanggal 2 Februari, saya pulang kantor jam 15:30 dan baru sampai di rumah jam 20:50. Lima jam lebih saya di jalan ganti kendaraan hingga 3x dan berjalan kaki dari Pancoran hingga Seberang Carrefour.
Tanggal 4 Februari saya harus mengevakuasi mertua ke rumah ipar dan tanggal 11 mengembalikannya. Saya dengan ipar bergantian menggendong mertua sebab kendaraan tidak bisa masuk karena lumpur tebal. Hanya bisa parkir di jalan Otista Raya.
Hari Senin meski kondisi masih seperti di atas, dipanggil untuk masuk kantor. Terpaksa berpikir keras mencari rute yang tidak banjir mengingat jalan Otista Raya dan ByPass terendam air.
Toh meski banjir, ternyata para pedagang bisa menikmatinya dengan berdagang seperti di gambar ini.
Nah yang paling bawah foto saya. Meski banjir dan cape, kita tidak boleh bersedih. Tetap tersenyum!
"Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." [Ibrahim:7]
Meski banjir memang membuat kita menderita, tapi tak berarti korban banjir pada bersedih semua. Ada yang memanfaatkannya sebagai kolam renang raksasa. Ada yang lompat dari pagar rumah ke air banjir laksana peloncat indah ke kolam renang. Ada juga yang berjalan di air banjir sambil mendayung-dayung dengan kayu seolah-olah naik perahu dayung. Ada pula yang (maaf) buang air besar di situ. Sehingga orang yang terkena/hampir terkena "ranjau kuning" marah dan berteriak "Ini t** siapa?". Namun karena yang BAB jongkok dan pakai sarung, tidak terlihat siapa yang BAB..:)
hebat-hebat, yupz ini adalah bahan renungan yang bagus. syukron pak ^_^
BalasHapus