Rabu, 20 Oktober 2010

Demonstrasi Tanpa CIA Jadi Melempem...???

 




[caption id="attachment_809" align="alignnone" width="468" caption="Demonstrasi 1998 - Ditunggangi CIA?"]Demonstrasi 1998 - Ditunggangi CIA?[/caption]

Adakah berbagai demo pasca Reformasi jadi melempem karena tidak ada keterlibatan AS atau CIA?

Kalau kita lihat di tahun 1966 demo massa begitu besar. Jumlahnya melebihi 1 juta orang. Demikian pula demonstrasi pada tahun 1998.
Alasan demonstrasi memang mulia. Yaitu karena kondisi ekonomi rakyat yang memburuk. Tapi jika dikaji, memang AS lah yang memperburuk kondisi ekonomi Indonesia. Apa kita mengkambing-hitamkan AS?


Pada tahun 1966, AS memang mendukung pemberontakan PRRI/PERMESTA. Sehingga akhirnya pemerintah harus mengeluarkan biaya besar untuk memadamkan pemberontakan tersebut. Akibatnya inflasi mencapai 600%.


Namun rakyat dan mahasiswa yang demo tidak tahu itu. Yang jelas berbagai dokumen, termasuk Dokumen CIA menunjukkan adanya keterlibatan CIA dalam menjungkirkan Bung Karno.


Pada masa Sukarno, pemerintah menasionalisasi berbagai perusahaan Belanda seperti Perusahaan Kereta Api, Telepon, Pertamina, dsb. AS boleh dikata sulit mendapat keuntungan ekonomi di zaman Soekarno.


Saat Soekarno tumbang dan Soeharto muncul, berbagai perusahaan migas AS seperti Caltex, VICO, Mobil, Exxon merajalela merambah migas Indonesia. Bahkan Freeport menguasai tambang emas, perak, dan tembaga di Papua.


Pada tahun 1998 juga begitu. Jatuhnya Soeharto, membuat AS jadi lebih untung lagi. Setelah Soeharto jatuh, BUMN-BUMN seperti Telkom, Indosat, BNI, dsb segera diprivatisasi dan jatuh ke perusahaan2 AS, sementara puluhan BUMN-BUMN lainnya siap menyusul.


Mungkin "Para Pejuang Reformasi" merasa bahwa mereka berjuang untuk rakyat karena situasi ekonomi yang memburuk. Tapi memburuknya ekonomi tak lepas dari ulah tangan-tangan AS seperti jatuhnya rupiah oleh spekulan valas, George Soros, yang merupakan konconya IMF. Rupiah hancur dari Rp 2.400/1 US$ jadi Rp 15.000/1 US$!


Tahun 1998 para mahasiswa berdemo karena bensin naik dari Rp 700/liter jadi Rp 1.200/liter.


http://www.ngobrol.com/archive/index.php/thread-28223.html


Setelah demo, bensin naik terus hingga di tahun 2008 jadi Rp 6.000/liter atau 5x lipat daripada harga di zaman Soeharto! Toh demo dahsyat tidak terjadi.


Pasca reformasi, demo begitu melempem diperkirakan karena AS/CIA tidak punya kepentingan di situ. Sehingga mereka tidak memberikan dana untuk pembiayaan logistik, transportasi, konsumsi, atau uang untuk para pendemo. Jadi mengumpulkan 10 ribu pendemo saja sulit setengah mati meski harga Bensin pernah naik dari Rp 2.400/liter jadi Rp 4.500/liter.


AS yang mendanai berbagai LSM lewat berbagai lembaganya seperti USAID memang punya akses ke grass root untuk dimanfaatkan sebagai pendemo.


Jadi tanpa keterlibatan AS atau CIA, sulit para pendemo menembus angka 1 juta meski ekonomi rakyat terus memburuk dan memburuk akibat berbagai kenaikan harga yang terus dilakukan pemerintah.


Seorang demonstran 1998, Ali Akbar menyebutkan keterlibatan Amerika di dalam gerakan Reformasi. Ia menyebutkan ada tokoh mahasiswa yang didatangi oleh orang dari Kedutaan Besar Amerika Serikat. Orang itu menawarkan bantuan jika diperlukan. Ia memberikan selembar kartu nama yang kemudian dibuang oleh tokoh mahasiswa tersebut.


Sulit menghilangkan kecurigaan keterlibatan Amerika di dalam menentukan percaturan politik di Indonesia. Salah satu bagian dari peristiwa tahun 1966 yang terus dikaji oleh politikus dan sejarawan adalah mengenai keterlibatan badan intelijen Amerika—CIA. Ada pandangan kuat bahwa Amerika tidak sejalan dengan Soekarno dan berupaya menyingkirkannya. Apalagi ketika itu Soekarno condong ke blok Timur. Ada ’tuduhan’ bahwa Soeharto didukung oleh Amerika. Bahkan, ada dugaan kalau aksi demonstrasi mahasiswa angkatan 66 dibiayai oleh CIA.


 


Kamis, 21/10/2010 07:50 WIB
Setahun SBY-Boediono
Kekhawatiran Itu Tidak Terbukti video foto
Mega Putra Ratya - detikNews


Aksi di Depan Istana Rusuh
Jakarta - Isu demonstrasi besar yang berniat untuk menggulingkan pemerintahan SBY pada 20 Oktober kemarin ternyata tidak terbukti. Meski ada kericuhan di sejumlah tempat, penyaluran aspirasi dengan massa banyak di jalan-jalan masih dinilai kondusif.


Gembar-gembor akan gelombang demonstrasi besar ini membuat sejumlah kalangan angkat bicara untuk menenangkan masyarakat yang khawatir terulangnya peristiwa Mei 1998. Dimana saat itu, banyak toko-toko dan perusahaan-perusahaan dihancurkan oleh amuk massa, terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa.


Untuk mengamankan kegiatan ini, 2.776 personel yang terdiri dari 2.483 polisi dan 293 anggota TNI dikerahkan. Kepolisian Daerah Metro Jaya menegaskan akan menggunakan Peraturan Kapolri No 16 Tahun 2006 tentang pengendalian massa yang sudah terarah dan terukur. Polisi akan menggunakan Protap 01/X/2010 jika pendemo sudah mulai anarkis. Dimana tertuang dalam poin nomor 12, yaitu apabila pelaku tidak mengindahkan perintah petugas, maka segera dilakukan tindakan pelumpuhan.


"Dalam hal penanggulangan anarki, ya sesuai itu (Protap 01)," kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Boy Rafli Amar kepada wartawan di kantornya, Selasa (19/10) lalu.


Setahun pemerintahan SBY-Boediono memang mendapat kritik tajam dari berbagai kalangan. Kritikan mulai dari kinerja menteri yang tidak becus, sejumlah permasalahan hukum yang tidak kunjung usai, hingga perekonomian bangsa yang belum juga dapat menuntaskan kemiskinan. Aksi demonstrasi dari hari ke hari pun tidak terhitung untuk mengingatkan penguasa yang berjalan dua periode ini.


Sebanyak 20 aksi unjuk rasa tercatat mewarnai Jakarta kemarin. Aksi terfokus di depan Istana Negara, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat. Bahkan sempat diberitakan, menurut beberapa informasi menyebut SBY tidak berada di Jakarta dan akan menggelar rapat di Istana Bogor. Namun hal itu dibantah oleh Juru Bicara Kepresidenan Bidang Dalam Negeri Julian Aldrin Pasha. SBY pun tetap menjalankan rutinitasnya sebagai kepala negara di Istana.


Gelombang massa siang itu mulai menyemut di depan Istana Negara. Bentrokan antara mahasiswa dan aparat kepolisian pun tidak terhindarkan. Aksi saling dorong, lempar batu dan penyemprotan air dengan water canon pun terjadi. Bahkan seorang mahasiswa Universitas Bung Karno (UBK) tertembak kakinya, menyusul bentrok antara mahasiswa dengan polisi di Jl Diponegoro, Jakarta Pusat. Sementara 3 mahasiswa lainnya diamankan polisi.


Menjelang sore, para demonstran itu mulai membubarkan diri. Sejumlah ruas jalan yang sempat ditutup telah dibuka kembali. Lalu-lintas mulai lancar dan kendaraan pun melenggang menuju tempat tujuannya.
http://www.detiknews.com/read/2010/10/21/075025/1470896/10/kekhawatiran-itu-tidak-terbukti?991103605


Mencuci Kaki Sang Proklamator


04/08/2003 10:00
Liputan6.com, Jakarta: "Jangan sekali-sekali melupakan sejarah," begitulah gelegar suara Sukarno ketika membacakan pidato kenegaraan yang terakhir di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, 17 Agustus 1966. Pidato Singa Podium itu bertepatan dengan peringatan ke-21 proklamasi kemerdekaan RI yang dikemundangkannya bersama Mohammad Hatta. Saat itu, Putra Sang Fajar tengah memasuki senja kekuasaan.


Boleh jadi, kalimat "jangan sekali-sekali melupakan sejarah", itulah yang mungkin mendasari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan untuk merehabilitasi atau memulihkan nama baik Presiden Pertama RI yang juga ayah kandung Megawati Sukarnoputri, sang ketua umum partai. Ini tertuang dalam Rapat Kerja Nasional VII PDI Perjuangan yang berlangsung di Hotel Sheraton Bandara, Tangerang, Banten, dua hari menjelang Sidang Tahunan MPR.


Kalangan Banteng Bulat menggugat sejumlah Ketetapan MPRS antara tahun 1966 hingga 1967. Di antaranya, Tap MPRS Nomor IX/1966 yang melegitimasi Soeharto sebagai pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar, Tap MPRS No XXV/1966 mengenai pembubaran PKI dan larangan menyebarkan serta mengembangkan komunisme, dan Tap MPRS No XXXIII/1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Sukarno. Bola panas itu kemudian digulirkan dalam Sidang Tahunan MPR pada Jumat pekan silam. Fraksi PDIP mengusulkan agar sejumlah ketetapan MPRS yang berkaitan dengan nama baik Bung Karno dicabut.


PDIP memang memandang pemulihan atau rehabilitasi Sukarno sangat penting, apalagi putri pertama Bung Karno sedang berkuasa. Terutama Pasal 6 TAP MPRS XXXIII/1967 yang berbunyi penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut Presiden Sukarno diserahkan kepada Pejabat Presiden Soeharto. Menurut anggota F-PDIP Permadi, Tap MPRS itu adalah pemasungan terhadap Bung Karno. Permadi beralasan, Pasal 6 itu intinya menyebutkan Pejabat Presiden Soeharto masih mempunyai kewajiban tindakan hukum terhadap Bung Karno. "[Namun] sampai hari ini belum dilakukan. Jadi itu masih jadi kabut. Status BK [Bung Karno] jadi terkatung-katung," ucap Permadi.


Sementara Ketua Fraksi F-PDIP MPR Arifin Panigoro bersama delapan fungsionaris lainnya, di antaranya Teras Narang, Permadi, Sukowaluyo Mintorahardjo, Jacob Tobing, kepada wartawan menyatakan tekad fraksi mereka untuk terus memperjuangkan pencabutan Tap MPRS tentang pelarangan marxisme dan komunisme. "Masih ada cap bagi orang-orang dan keluarganya yang terlibat PKI mendapat perlakuan yang tidak adil sehingga tidak bisa ikut Pemilu," kata Sukowaluyo.


Lain lagi pandangan pengamat politik Salim Said. Dia menilai, niat untuk mencabut Tap MPRS tersebut dalam ST MPR kali ini hanya bertujuan politis. Terutama untuk kepentingan Pemilihan Umum 2004. "Jika pencabutan itu dilakukan, diprediksi akan melecut masalah sosial baru yang hanya membuang-buang energi saja," kata Salim. Menurut Salim, yang berkepentingan dengan isu pencabutan ketetapan tersebut adalah PDI Perjuangan. "PDIP berharap orang-orang dari subkultur yang dulu memilih PKI [Partai Komunis Indonesia] akan bersimpati pada PDIP, yang memperjuangkan pencabutan Tap itu," tambah Salim.


Polemik itu memang masih menggulir. Namun, Ahad kemarin atau hari ketiga ST MPR, sikap F-PDIP soal rehabilitasi mantan Presiden Sukarno dan pelarangan paham komunis akhirnya melunak. Mereka tak lagi ngotot meminta Tap MPRS No XXXIII/1967 dan Tap MPRS XXV/1966 dicabut. Itu terjadi setelah mayoritas fraksi di Komisi B menolak permintaan tersebut. Alasannya kedua Tap itu sudah menjadi bagian sejarah bangsa. Selain soal Tap MPRS No XXXIII/1967 dan Tap MPRS XXV/1966, Komisi B juga menyepakati tak akan ada dosa politik warisan buat anak dan cucu bekas aktivis Partai Komunis Indonesia. Hak-hak asasi mereka tak akan dikotomi. Keputusan lain dari rapat pertama Komisi B adalah merehabilitasi nama Bung Karno.


Menyikapi kompromi tersebut, Permadi mengatakan, biar bagaimanapun PDIP harus realistis. Sikap lunak juga dimaksudkan untuk menghindari voting. "Yang dilawan 10 fraksi, ya, kalau ngotot pasti voting. Kalau voting pasti ada yang kalah lantas sakit hati," jelas Permadi. Menurut Permadi, itulah yang dihindari F-PDIP.


Untuk menatap masa depan, sejarah memang boleh ditinggalkan. Namun, alangkah bijaknya bila tak dilupakan, seperti pesan Bung Karno. Apalagi, peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto memang masih menimbulkan luka mendalam bagi sebagian masyarakat Indonesia. Kejatuhan Sukarno juga mendapat perhatian besar para peneliti Indonesia baik lokal maupun asing. Banyak teori yang muncul menganalisis peristiwa politik tersebut.


Peristiwa tersebut dimulai dengan munculnya Gerakan 30 September 1965 (G30S) yang memakan korban jiwa enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama TNI Angkatan Darat. Kematian tujuh Pahlawan Revolusi itu kemudian memicu pembunuhan massal terhadap massa pendukung PKI di berbagai daerah. Hingga saat ini, data mengenai korban tewas akibat huru-hara nasional itu masih simpang siur, sekitar 500 ribu hingga tiga juta orang.


Kekacauan itu berujung dengan keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar)--hingga saat ini dokumen otentik tersebut belum ditemukan. Saat itu, Sukarno selaku Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata memberi "mandat" kepada Menteri Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal TNI Soeharto untuk memulihkan keamanan dan politik yang sangat kacau. Soeharto tak menyia-nyiakan kesempatan. Dia segera membubarkan PKI dan menggelar operasi penumpasan terhadap para anggota maupun simpatisan PKI di Tanah Air.


Ini berlanjut dengan ditolaknya laporan pertanggungjawaban Presiden Sukarno yang berjudul Nawaksara beserta Pelengkap Nawaksara oleh MPRS yang diketuai Jenderal TNI Abdul Haris Nasution pada 5 Juli 1966. Founding fathers ini akhirnya harus menyerahkan kekuasaan kepada Pejabat Presiden Soeharto atau pemegang Supersemar yang notabene dikeluarkan olehnya. Sukarno tumbang. Singa Podium ini kemudian diasingkan hingga akhir hayatnya tanpa proses hukum seperti diamanatkan MPRS. Ketika masih berkuasa, Soeharto kerap beralasan tak mengadili Pemimpin Besar Revolusi itu lantaran menganut falsafah Jawa: "Mikul Duwur, Mendem Jero".


Kendati demikian, seiring tumbangnya Orde Baru, sejumlah kalangan mulai mempertanyakan kebenaran sejarah seputar pendongkelan kekuasaan Sukarno. Terutama penulisan sejarah ketika Orde Baru berkuasa. Seolah-olah Bung Karno-lah yang bertanggung jawab atas Gerakan 30 September 1965 yang memakan korban jiwa enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama TNI Angkatan Darat. Kematian tujuh Pahlawan Revolusi itu kemudian memicu pembunuhan massal terhadap massa pendukung PKI.


Tuntutan pelurusan sejarah memang bukan tak mendasar. Menurut sejarawan Asvi Warman Adam, pembantaian masal atau kejahatan atas kemanusiaan itu masih dirasa kurang cukup. Sebanyak 10 ribu orang termasuk orang tua dan anak-anak dibuang ke Pulau Buru selama 10 tahun--1969-1979--tanpa pengadilan. Tapi, rezim Orba masih belum puas. Buktinya, ribuan mantan tahanan politik itu masih harus rutin melapor selama bertahun-tahun. Itu pun masih dianggap kurang, anak-anak dan cucu-cucu mereka dinyatakan tidak "bersih lingkungan". Artinya, mereka tak bisa bekerja sebagai pegawai negeri, militer, polisi, guru dan jabatan strategis lain di masyarakat.


Lebih jauh Asvi mengungkapkan, sampai usia renta (60 tahun ke atas) mereka masih disakiti. Pemerintah Orba juga tak membolehkan eks tapol memiliki kartu tanda penduduk seumur hidup. Nasib yang dialami Nani Nuraini, misalnya. Dengan perjuangan berat, mantan penari Istana Cipanas yang berusia 62 tahun ini akhirnya mendapat KTP seumur hidup. Ini berdasarkan keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, beberapa waktu silam. Nani sempat ditahan selama tujuh tahun gara-gara pernah menari pada ulang tahun PKI, Juni 1965. Nasib Nani mungkin cukup beruntung mengingat ribuan eks tapol lainnya tak dapat mengecap kesempatan tersebut.


Asvi mengingatkan, hingga saat ini, stigma buruk terhadap orang-orang yang dituduh berideologi kiri masih dilestarikan. Keluarga yang dituduh komunis, meski banyak di antara mereka tak tahu-menahu soal ideologi kiri, akan terkucil di masyarakat. Bahkan, sebuah pernikahan bisa batal bila diketahui seorang di antara mempelai ternyata mempunyai orang tua atau keluarga yang terlibat G30S.


Ribuan eks tapol beserta keluarga mereka mungkin tak tahu ideologi komunis. Mereka juga tak tahu Indonesia sempat terseret pusaran perang dingin antara blok barat dan timur. Kurun 1960-an, Indonesia di bawah Sukarno memang memainkan peranan penting dalam kancah perang dingin antara blok barat pimpinan Amerika Serikat dan blok timur yang terdiri dari negara-negara berpaham sosialis atau komunis. Kepemimpinan Indonesia tampak saat menggalang kekuatan internasional dalam Konferensi Asia Afrika dan Gerakan Non-Blok maupun New Emerging Forces (NEFO) sebagai garis politiknya untuk menghadapi imperialisme. Bagi AS, sikap Sukarno terlalu kekiri-kirian.


Lantaran itulah, Pusat Intelijen AS (CIA) merancang sejumlah upaya mendongkel kekuasaan Sukarno. Ini dibuktikan dengan publikasi dokumen operasi CIA rentang tahun 1964-1966. Dokumen yang juga diterjemahkan dan disebarluaskan oleh penerbit Hasta Mitra--berjudul Dokumen CIA, Melacak Penggulingan Sukarno dan Konspirasi G30S-1965--ini mengurai keterlibatan AS untuk menjatuhkan Sukarno dalam rangka ofensif Perang Dingin. Publikasi dokumen CIA itu akhirnya memancing polemik yang berujung niat sejumlah sejarawan meluruskan sejarah nasional. Terutama menjernihkan status Sukarno yang selama ini diembuskan rezim Orba bertanggung jawab secara tidak langsung atas tragedi nasional yang dimulai sejak 30 September 1965 hingga 1967.


Usulan merehabilitasi nama baik Bung Karno memang kerap kali disuarakan keluarga Sang Proklamator. Terakhir, sekitar tahun 2001, Rachmawati Sukarnoputri sempat mengusulkan sejumlah ketetapan MPRS yang dinilai mendiskreditkan ayahnya itu dicabut. Meski Presiden Abdurrahman Wahid setuju, tapi keputusan itu tak sampai dibahas di MPR. Apalagi Gus Dur--begitu Abdurrahman kerap disapa--keburu terjungkal.


Jauh sebelumnya, sejumlah tokoh yang dekat dengan Sukarno pernah mengusulkan rehabilitasi sekaligus rekonsiliasi nasional. Mendiang Manai Sophiaan, misalnya. Dalam bukunya yang bertajuk Kehormatan bagi yang Berhak terbitan tahun 1994, ayah Sophan Sophiaan ini justru mengungkapkan bahwa Sukarno-lah yang menggagalkan gerakan lebih lanjut dari sayap militer G30S/PKI.


Ketika itu, menurut Manai, Presiden Sukarno mengeluarkan perintah lisan sebagai Panglima Tertinggi kepada Brigadir Jenderal Soeparjo, pimpinan militer G30S di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, 1 Oktober 1965. Perintah lisan inilah yang kemudian memudahkan pasukan Komando Cadangan Strategis TNI AD pimpinan Mayor Jenderal TNI Soeharto dapat menghancurkan gerakan itu tanpa menemui perlawanan sengit.


Terlepas dari itu, sebenarnya, Soeharto saat masa berkuasa telah memberikan pengakuan formal kepada Bung Karno sebagai proklamator bersama Bung Hatta. Soeharto juga mengubah nama Bandar Udara Internasional Cengkareng menjadi Bandara Sukarno-Hatta. Termasuk meresmikan makam Bung Karno di Blitar, Jawa Timur, pada 21 Juni 1979. Begitulah gaya Soeharto yang lebih mengedepankan simbolisme.


Kini, muncul pertanyaan yang cukup menggelitik. Benarkah PDIP tulus "mencuci" kaki atau meluruskan jejak sejarah Sukarno?(ANS)
http://berita.liputan6.com/progsus/200308/59697/class=%27vidico%27


Resensi buku: Matahari Merah Bulan Mei
Oleh : Achmad Sunjayadi | 23-Mei-2008, 10:23:07 WIB


Judul : Matahari Merah Bulan Mei
Penulis : Ali Akbar
Kata Penutup : Maman S. Mahayana
Penerbit : Maju Mbojo, Mei 2008
Tebal : vi + 249


Sepuluh tahun sudah Reformasi 1998 berlalu. Hiruk-pikuknya masih menyisakan berbagai kenangan sampai kini. Sudah empat presiden memimpin negeri ini. Namun, persoalan negeri ini tak kunjung selesai.


Salah satu fase terpenting dalam kehidupan bangsa ini pun telah tercatat dalam berbagai buku. Baik dalam bentuk biografi, otobiografi maupun fiksi. Salah satunya novel Matahari Merah Bulan Mei ini.


Novel ini ditulis oleh salah satu dari aktivis yang terlibat langsung dalam Reformasi 1998 yang karena begitu membingungkan rakyat sering dipelesetkan menjadi ’Repotnasi’. Repot memikirkan nasi (perut) lantaran harga beras terus membumbung tinggi.


Mengambil sudut pandang seorang tokoh aktivis mahasiswa, penulis menceritakan berbagai tokoh (terutama mahasiswa) menjelang Reformasi Mei 1998. Tokoh-tokoh mulai dari narapidana (tentara desertir), pembantu rumah tangga, kuli angkut, petani yang menjadi kuli bangunan, penjaga warung yang bercita-cita menjadi TKW sampai tokoh lurah yang menggambarkan krisis moral di negeri ini juga menghiasi novel ini. Beberapa tokoh nasional muncul sebagai cameo dalam novel ini. Misalnya Amien Rais, Ali Sadikin, Buyung Nasution.


Hampir semua tokoh bermuara pada satu tujuan. Jalinan benang merahnya dengan cerdas dan mulus dijalin oleh penulis. Kecuali tokoh narapidana (tentara desertir) yang hingga akhir hidupnya ’hubungan’ cerita yang lain sebatas mencuri dengar obrolan mahasiswa di warung tepi jalan.


Ali Akbar, si penulis, tampaknya lebih memilih untuk menceritakan peristiwa reformasi dari kacamatanya sendiri, dari sudut pandang pelaku sejarah. Jejak sejarah yang ditampilkan dalam novel ini misalnya penembakan mahasiswa Trisakti, pendudukan Gedung MPR/DPR hingga detik-detik Soeharto mengundurkan diri. Seperti dikatakan oleh Syamsudin Haris, pengamat politik dari LIPI, novel ini layak dibaca karena ditulis oleh aktivis mahasiswa yang terlibat langsung di dalam gerakan Reformasi 1998. Bahkan, Anis Matta, politisi dan anggota DPR RI, menyatakan ini adalah sebuah novel sejarah yang menggambarkan jejak jiwa seorang aktivis.


Meski porsi ceritanya tidak besar, Ali Akbar menyebutkan keterlibatan Amerika di dalam gerakan Reformasi. Ia menyebutkan ada tokoh mahasiswa yang didatangi oleh orang dari Kedutaan Besar Amerika Serikat. Orang itu menawarkan bantuan jika diperlukan. Ia memberikan selembar kartu nama yang kemudian dibuang oleh tokoh mahasiswa tersebut.


Sulit menghilangkan kecurigaan keterlibatan Amerika di dalam menentukan percaturan politik di Indonesia. Salah satu bagian dari peristiwa tahun 1966 yang terus dikaji oleh politikus dan sejarawan adalah mengenai keterlibatan badan intelijen Amerika—CIA. Ada pandangan kuat bahwa Amerika tidak sejalan dengan Soekarno dan berupaya menyingkirkannya. Apalagi ketika itu Soekarno condong ke blok Timur. Ada ’tuduhan’ bahwa Soeharto didukung oleh Amerika. Bahkan, ada dugaan kalau aksi demonstrasi mahasiswa angkatan 66 dibiayai oleh CIA.


Demonstrasi 1998 dianggap sama besar besar bahkan lebih besar dari demonstrasi 1966. Kedua demonstrasi itu diakui menjadi tahap penting di dalam sejarah Indonesia. Namun, pernahkan ada yang menyatakan keterlibatan Amerika di dalam demonstrasi 1998?


Satu hal yang cukup menggelitik adalah penggunaan teknologi telepon genggam alias handphone. Pada masa itu handphone masih merupakan benda mewah tanda status seseorang. Tidak banyak orang yang memilikinya apalagi mahasiswa. Apakah ini indikasi keterlibatan Amerika atau memang aktivis tersebut dari keluarga kaya atau karena ia seorang aktivis ’karismatik’ yang mendapat ’bantuan’ dari banyak pihak yang bersimpati. Terlepas dari itu semua ternyata teknologi juga berperan dalam melengserkan suatu rezim seperti yang juga terjadi di Filipina.


Membaca novel ini kita seolah terlibat di dalamnya. Mengikuti rapat mengatur strategi berdemo, tidur di tenda ditemani nyamuk, ramai-ramai berdemonstrasi, bersitegang dengan aparat keamanan hingga memuncaknya Reformasi 1998. Inilah, meminjam ungkapan Maman Mahayana dalam kata penutupnya, catatan terpendam yang mengungkap kisah tak terucapkan. Beruntung, Ali Akbar merekam semua itu.
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=12&jd=Resensi+buku%3A+Matahari+Merah+Bulan+Mei&dn=20080523070141


http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2003/05/19/LK/mbm.20030519.LK87638.id.html


http://www.dw-world.de/dw/article/0,,3356453,00.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar