Saya lihat di Anteve tadi pagi (15 Oktober 2009), Roy Suryo menyatakan bahwa Prita yang mengirim email keluhan ke milis itu salah. Roy menyatakan itu sebagai saksi Ahli di Bidang TI.
Kalau saya pribadi melihat bahwa konsumen komplain ke milis atau pun surat pembaca ke media massa seperti Koran atau majalah itu adalah hal yang wajar. Bahkan untuk media seperti Koran atau Majalah itu dari dulu sudah lama biasa terjadi.
Perusahaan yang baik biasanya menggunakan hak jawab dan memperbaiki layanannya hingga konsumennya puas. Bukan mempidanakan konsumennya atau mengkriminalisasi jadi satu kejahatan.
Harusnya untuk di milis juga begitu. Perusahaan tersebut bisa menggunakan hak jawabnya di milis.
Jika Prita dituduh menginformasikan hal yang tak benar dan merugikan perusahaan tersebut sehingga dituntut ke pengadilan, bagaimana jika Prita mendapat informasi yang tak benar (jika laporan Prita benar) sehingga terjadi salah obat yang bisa merugikan nyawanya? Adakah negara termasuk pakar TI seperti Roy Suryo mau membelanya?
Seharusnya aparat hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim melihat masalah secara menyeluruh. Tidak sepotong-sepotong.
Misalnya Prita mengalami Malpraktek yang membuat dia makin sakit/hampir merenggut nyawanya. Kemudian dia menceritakan malpraktek yang membahayakan itu pada orang lain. Meski pihak yang melakukan malpraktek protes karena merasa dirugikan, harusnya aparat tidak melihat "potongan" berupa "kerugian" pelaku malpraktek. Tapi justru menindak pelaku malpraktek tersebut agar rakyat lain tidak terkena jika memang apa yang ditulis Prita itu benar.
Atau contoh yang lebih nyata adalah misalnya si "A" ditipu oleh si "X." Kemudian si "A" menyebar email bahwa dia ditipu oleh si "X".
Nah jika benar, aparat hukum harusnya tidak hanya melihat bahwa email yang disebar si "A" telah mencemarkan nama baik si "X" kemudian akhirnya menghukum si "A."
Harusnya aparat menyelidiki "Inti Masalah" yaitu betulkah si "X" telah menipu si "A"? Jika benar, berarti si "A" tidak mencemarkan si "X" karena si "X" memang benar-benar penipu. Sebaliknya aparat justru harus menghukum si "X" karena penipuan yang dilakukannya.
Jadi harusnya aparat hukum melihat persoalan hukum tersebut secara keseluruhan. Tidak sepotong-sepotong!
Dari berita di bawah, beberapa anggota DPR yang biasa membuat UU mau pun praktisi hukum menyayangkan kasus Prita tersebut. UU ITE menurut mereka harusnya untuk mengamankan dan melancarkan transaksi elektronik seperti e-commerce, bisnis online, dsb. Bukan digunakan untuk pasal karet seperti pencemaran nama baik.
Dari Abu Shirmah Ra bahwa Rasulullah SAQ bersabda: "Barangsiapa menyengsarakan seorang muslim, Allah akan menyengsarakan dirinya dan barangsiapa menyusahkan seorang muslim, Allah akan menimpakan kesusahan kepadanya." Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadits hasan menurut Tirmidzi.
Jangan Salah Gunakan UU ITE
Kasus Prita Upaya Pembungkaman Hak Konsumen
Senin, 8 Juni 2009 | 03:05 WIB
Jakarta, Kompas - Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak bisa sembarangan dipakai untuk menjerat warga yang dituduh mencemarkan nama baik orang atau pihak tertentu. Jangan sampai hukum dipakai sebagai alat oleh pemilik modal dan penguasa.
Demikian rangkuman wawancara Kompas, Sabtu (6/6), dengan Wakil Ketua Dewan Pers Sabam Leo Batubara dan dua anggotanya, Wikrama Iryans Abidin dan Bekti Nugroho, serta mantan Wakil Ketua Pansus Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang juga anggota Komisi IX DPR, Yasin Kara.
Menurut Leo Batubara, kasus Prita Mulyasari yang dipidanakan karena mengirimkan surat elektronik tentang kekecewaannya terhadap pelayanan sebuah rumah sakit hanyalah satu contoh dari beberapa kasus penggunaan media internet untuk tujuan positif, yang justru berujung pada perkara hukum.
Yang harus diingat, perangkat hukum dibuat bertujuan menciptakan keadilan, khususnya bagi rakyat kebanyakan. Untuk itu, penegak hukum harus kembali mengacu pada tujuan awal itu setiap kali bertindak.
Menurut Wikrama, sejak awal rencana pembuatan UU ITE, pihak media, termasuk Dewan Pers, tidak pernah dimintai pendapat. Dengan demikian, UU ITE tidak merepresentasikan kepentingan publik, apalagi UU ITE dianggap berpotensi melumpuhkan hak rakyat untuk mengeluarkan pendapat, mengkritik, dan mengeluh.
Yasin Kara menyatakan, Undang-Undang ITE tidak perlu dihapus. Namun, jika revisi dibutuhkan, sebaiknya segera dilakukan. Revisi tidak hanya berupa pengurangan materi, tetapi bisa juga berupa penambahan. Terkait dengan Pasal 27 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE, penambahan keterangan atau ketentuan patut diberikan agar pasal tersebut tidak menjadi pasal karet.
Dalam kaitan dengan penggunaan Pasal 27, Yasin menilai ada salah kaprah pemahaman dari jaksa penuntut umum. Pasal 27 memang tidak termasuk pasal-pasal dalam UU ITE yang butuh peraturan pemerintah, tetapi penggunaan pasal itu dalam kasus Prita tidak relevan karena pasal itu justru membicarakan soal hak atas suatu informasi.
Landasan hukum
Direktur Jenderal Aplikasi Telematika Departemen Komunikasi dan Infomatika Cahyana Ahmadjayadi membantah pendapat yang menyebutkan UU ITE bakal menghambat kebebasan berpendapat setiap orang. ”Tidak betul pendapat itu,” ujarnya.
Ia menyebutkan, UU ITE dibuat untuk memberikan landasan hukum transaksi dan komunikasi elektronik, seperti e-business, e-commerce, dan e-banking.
Berkaitan dengan kasus yang menimpa Prita, Cahyana mengingatkan ada dua kata kunci yang disebutkan dalam Pasal 27 UU ITE yang jadi kunci kasus Prita. Kedua kata kunci itu adalah ”dengan sengaja” dan ”tanpa hak”.
Pertanyaannya, apakah Prita memang dengan sengaja mau mencemarkan atau menghina rumah sakit yang pernah merawatnya? ”Menurut saya, Prita tidak dengan sengaja mau menghina atau mencemarkan nama baik karena ia hanya menyampaikan keluhan mengenai apa yang ia alami,” kata Cahyana. ”Hak Prita juga diatur dalam UU Perlindungan Konsumen.”
Pertanyaan kedua, apakah Prita memang tak punya hak? ”Menurut saya, Prita jelas punya hak untuk menyampaikan keluhan mengenai apa yang dialaminya. Prita konsumen karena ia pasien dari rumah sakit itu,” katanya.
”E-mail Prita bukanlah penghinaan,” katanya.
Cahyana juga menjelaskan, dalam UU ITE, selain soal unsur ”dengan sengaja”, ”tanpa hak”, alat bukti elektronik juga harus diuji melalui forensik digital terlebih dahulu.
Untuk menahan seseorang, kata Cahyana, seperti diatur dalam Pasal 43 Ayat 6, penyidik melalui penuntut umum wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu 1 x 24 jam. ”Jadi, ada tahapan yang harus ditempuh,” kata Cahyana.
Soal eksistensi UU ITE, Cahyana menjelaskan, UU ITE berlaku sejak diundangkan 21 April 2008. Adapun dalam Pasal 54 Ayat 2 disebutkan, peraturan pemerintah harus sudah ditetapkan paling lama 2 tahun setelah UU ini diundangkan.
Bukan tindak pidana
Nada yang sama disampaikan praktisi hukum Amir Syamsudin. Menurut Amir, tindakan Prita menulis surat elektronik berisi komplain atas pelayanan RS Omni Internasional Alam Sutra, Tangerang, bukan tindak pidana. Itu karena Prita hanya menulis apa yang dialaminya dan hal itu patut diketahui publik demi kepentingan umum.
Dasar pemikiran Amir berpijak dari isi Pasal 310 Ayat 3 KUHP yang berbunyi ”tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri”.
”Isi e-mail Prita hanya menceritakan apa yang ia alami dan itu adalah kebenaran sehingga Prita tidak bisa dipidana. Jadi, saya sungguh tidak mengerti mengapa ia harus ditahan lalu diadili segala,” tutur Amir.
Amir menyikapi secara kritis penggunaan Pasal 45 Ayat 1 juncto Pasal 27 Ayat 1 UU ITE, serta Pasal 310 Ayat 2 dan Pasal 311 Ayat 1 KUHP untuk menjerat Prita. Menurut Amir yang juga pengacara itu, Prita tidak bisa dijerat dengan UU ITE karena ia menceritakan kejadian yang ia alami dan itu merupakan fakta.
Sementara itu, ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia, Rudi Satryo, menjelaskan, pasal pencemaran nama baik dalam KUHP lebih berdimensi hukum privat ketimbang publik. Dengan demikian, isu pencemaran nama baik lebih tepat jika hanya termuat di dalam KUH Perdata. Rudi cenderung berharap pasal pencemaran nama baik suatu saat dihilangkan dari KUHP.
”Menurut saya sudah seharusnya hilang, lebih besar sifat hukum privatnya daripada hukum publiknya,” kata Rudi.
Dari sisi lain, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Indah Suksmaningsih mengatakan, kasus pengiriman surat elektronik yang menempatkan Prita sebagai terdakwa kasus pencemaran nama baik merupakan bentuk pembungkaman terhadap konsumen.
Ia menegaskan, penulisan surat elektronik oleh Prita merupakan bagian dari bentuk informasi mengenai pelayanan publik. ”Kalau dengan surat elektronik menimbulkan masalah, jadi harus bagaimana lagi masyarakat mengadukan keluhannya. Padahal, selama ini belum ada fasilitas layanan pengaduan langsung di instansi pemerintah maupun lembaga tertentu yang berwenang,” kata Indah. (SF/ONG/NEL/TRI/BDM)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/08/0305089/Jangan.Salah.Gunakan.UU.ITE
Roy Suryo: Prita Sengaja Menyebar Email
Abdul Rosyid
14/10/2009 23:44
Liputan6.com, Tangerang: Pakar telematika Roy Suryo dihadirkan sebagai saksi ahli dalam persidangan kasus pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni Internasional di Pengadilan Negeri Tangerang, Banten, Rabu (14/10). Roy menilai surat elektronik (e-mail) yang dikirim terdakwa Prita Mulyasari tidak wajar.
Menurut Roy, ada unsur kesengajaan agar e-mail disebarluaskan oleh sang penerima. Sebab Prita mengirim email ke 20 alamat pada waktu bersamaan.
Menanggapi pernyataan Roy, kuasa hukum Prita menolak berkomentar. Pada persidangan Rabu pekan depan, didatangkan saksi ahli pidana informasi dan transaksi elektronik dan anggota DPR yang menjadi panitia pembuat Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik.(ZAQ/AND)
http://berita.liputan6.com/hukrim/200910/247475/Roy.Suryo.Prita.Sengaja.Menyebar.Email
Roy Suryo: Prita Kirim Email ke Milis Perusahaan
By Republika Newsroom
Rabu, 14 Oktober 2009 pukul 16:07:00
TANGERANG-–Roy Suryo, saksi ahli dalam sidang kasus dugaan pencemaran nama baik atas nama terdakwa Prita Mulyasari, mengatakan Prita telah mengirim email kepada milis dua perusahaan. Dua milis itu beralamat di creditcardsupervisor dan customercared@banksinarmas.
Pengiriman dua surat ini, ungkap Roy, dapat mengindikasikan bahwa Prita telah melanggar Pasal 27 Undang-undang Informasi dan Telematikan (UU ITE) Tahun 2008. “Ada niat untuk menyebarkan email ini,”tutur Roy kepada wartawan usai memberikan keterangan kepada sidang di Ruang Utama Pengadilan Negeri Tangerang, Jl. TMP. Taruna, Tangerang.
Dalam persidangan, Roy sempat memberikan keterangan apa yang dimaksud dengan Pasal 27 Ayat 3 UU. ITE Tahun 2008 tentang seseorang tanpa hak. Menurut Roy, seseorang tanpa hak merupakan orang yang mengirim surat elektronik kepada tujuan email itu tanpa mengenal siapa pemilik email tersebut.
Ketika sidang, Roy pun mengatakan 20 email yang dikirim Prita pada 15 Agustus 2008 merupakan email yang ditujukan langsung kepada 20 alamat. Buktinya, ungkap Roy, alamat email dicantumkan pada to dimana email dikirim langsung, bukan carbon copy (cc) yang merupakan mekanisme untuk menggandakan email tersebut.
Roy menyebutkan 20 alamat tersebut bukan berarti ditujukan untuk 20 orang. Karena, ungkap Roy, ada dua alamat email berbeda dengan nama yang sama. Alamat tersebut, ungkap Roy adalah hendragunawan@yahoo.com dan hendragunawan@banksinarmas.com.
Meski demikian, Roy menjelaskan mungkin sekali tindakan Prita ini dilakukan tanpa tahu adanya peraturan dalam UU ITE tersebut. Namun, ungkap Roy, sayangnya hukum di Indonesia tidak membedakan untuk orang yang tahu dan tidak tahu.
Roy pun menambahkan, sebenarnya secara pribadi ia bersimpati terhadap Prita yang berani mengungkap kritik kepada publik. “Secara nurani, antara Prita melawan Rumah Sakit Internasional sebesar Omni ya saya berpihak kepada Prita, namun secara hukum, jika Prita melawan negara ya saya membela negara,”ucap Roy.
Mengenai keterangan Roy tersebut, Prita menyatakan ia mengirim email hanya untuk lingkungan pribadi, bukan untuk perusahaan. Prita pun menolak ketika dimintai komentar oleh hakim mengenai keterangan dari Roy Suryo. "Saya tidak berkompeten dalam bidang ini,"ucapnya.
Sementara itu, Kuasa Hukum Prita, Slamet Yuwono, mengaku akan mengajukan satu saksi ahli lainnya yang merupakan pakar di bidang teknologi informasi. Tanpa mau menyebut nama, Slamet mengungkap bahwa saksi ini merupakan ahli yang sudah bersertifikasi internasional. c01/kpo
http://www.republika.co.id/berita/82395/Roy_Suryo_Prita_Kirim_Email_ke_Milis_Perusahaan
Berikut ini adalah email dari Prita:
RS OMNI DAPATKAN PASIEN DARI HASIL LAB FIKTIF
Prita Mulyasari - suaraPembaca
Jangan sampai kejadian saya ini menimpa ke nyawa manusia lainnya. Terutama anak-anak, lansia, dan bayi. Bila anda berobat berhati-hatilah dengan kemewahan rumah sakit (RS) dan title international karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat, dan suntikan.
Saya tidak mengatakan semua RS international seperti ini tapi saya mengalami kejadian ini di RS Omni International. Tepatnya tanggal 7 Agustus 2008 jam 20.30 WIB. Saya dengan kondisi panas tinggi dan pusing kepala datang ke RS OMNI Internasional dengan percaya bahwa RS tersebut berstandar International, yang tentunya pasti mempunyai ahli kedokteran dan manajemen yang bagus.
Saya diminta ke UGD dan mulai diperiksa suhu badan saya dan hasilnya 39 derajat. Setelah itu dilakukan pemeriksaan darah dan hasilnya adalah trombosit saya 27.000 dengan kondisi normalnya adalah 200.000. Saya diinformasikan dan ditangani oleh dr I (umum) dan dinyatakan saya wajib rawat inap. dr I melakukan pemeriksaan lab ulang dengan sample darah saya yang sama dan hasilnya dinyatakan masih sama yaitu thrombosit 27.000.
dr I menanyakan dokter specialist mana yang akan saya gunakan. Tapi, saya meminta referensi darinya karena saya sama sekali buta dengan RS ini. Lalu referensi dr I adalah dr H. dr H memeriksa kondisi saya dan saya menanyakan saya sakit apa dan dijelaskan bahwa ini sudah positif demam berdarah.
Mulai malam itu saya diinfus dan diberi suntikan tanpa penjelasan atau izin pasien atau keluarga pasien suntikan tersebut untuk apa. Keesokan pagi, dr H visit saya dan menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab semalam. Bukan 27.000 tapi 181.000 (hasil lab bisa dilakukan revisi?). Saya kaget tapi dr H terus memberikan instruksi ke suster perawat supaya diberikan berbagai macam suntikan yang saya tidak tahu dan tanpa izin pasien atau keluarga pasien.
Saya tanya kembali jadi saya sakit apa sebenarnya dan tetap masih sama dengan jawaban semalam bahwa saya kena demam berdarah. Saya sangat khawatir karena di rumah saya memiliki 2 anak yang masih batita. Jadi saya lebih memilih berpikir positif tentang RS dan dokter ini supaya saya cepat sembuh dan saya percaya saya ditangani oleh dokter profesional standard Internatonal.
Mulai Jumat terebut saya diberikan berbagai macam suntikan yang setiap suntik tidak ada keterangan apa pun dari suster perawat, dan setiap saya meminta keterangan tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Lebih terkesan suster hanya menjalankan perintah dokter dan pasien harus menerimanya. Satu boks lemari pasien penuh dengan infus dan suntikan disertai banyak ampul.
Tangan kiri saya mulai membengkak. Saya minta dihentikan infus dan suntikan dan minta ketemu dengan dr H. Namun, dokter tidak datang sampai saya dipindahkan ke ruangan. Lama kelamaan suhu badan saya makin naik kembali ke 39 derajat dan datang dokter pengganti yang saya juga tidak tahu dokter apa. Setelah dicek dokter tersebut hanya mengatakan akan menunggu dr H saja.
Esoknya dr H datang sore hari dengan hanya menjelaskan ke suster untuk memberikan obat berupa suntikan lagi. Saya tanyakan ke dokter tersebut saya sakit apa sebenarnya dan dijelaskan saya kena virus udara. Saya tanyakan berarti bukan kena demam berdarah. Tapi, dr H tetap menjelaskan bahwa demam berdarah tetap virus udara. Saya dipasangkan kembali infus sebelah kanan dan kembali diberikan suntikan yang sakit sekali.
Malamnya saya diberikan suntikan 2 ampul sekaligus dan saya terserang sesak napas selama 15 menit dan diberikan oxygen. Dokter jaga datang namun hanya berkata menunggu dr H saja.
Jadi malam itu saya masih dalam kondisi infus. Padahal tangan kanan saya pun mengalami pembengkakan seperti tangan kiri saya. Saya minta dengan paksa untuk diberhentikan infusnya dan menolak dilakukan suntikan dan obat-obatan.
Esoknya saya dan keluarga menuntut dr H untuk ketemu dengan kami. Namun, janji selalu diulur-ulur dan baru datang malam hari. Suami dan kakak-kakak saya menuntut penjelasan dr H mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab awal yang 27.000 menjadi revisi 181.000 dan serangan sesak napas yang dalam riwayat hidup saya belum pernah terjadi. Kondisi saya makin parah dengan membengkaknya leher kiri dan mata kiri.
dr H tidak memberikan penjelasan dengan memuaskan. Dokter tersebut malah mulai memberikan instruksi ke suster untuk diberikan obat-obatan kembali dan menyuruh tidak digunakan infus kembali. Kami berdebat mengenai kondisi saya dan meminta dr H bertanggung jawab mengenai ini dari hasil lab yang pertama yang seharusnya saya bisa rawat jalan saja. dr H menyalahkan bagian lab dan tidak bisa memberikan keterangan yang memuaskan.
Keesokannya kondisi saya makin parah dengan leher kanan saya juga mulai membengkak dan panas kembali menjadi 39 derajat. Namun, saya tetap tidak mau dirawat di RS ini lagi dan mau pindah ke RS lain. Tapi, saya membutuhkan data medis yang lengkap dan lagi-lagi saya dipermainkan dengan diberikan data medis yang fiktif.
Dalam catatan medis diberikan keterangan bahwa bab (buang air besar) saya lancar padahal itu kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada follow up-nya sama sekali. Lalu hasil lab yang diberikan adalah hasil thrombosit saya yang 181.000 bukan 27.000.
Saya ngotot untuk diberikan data medis hasil lab 27.000 namun sangat dikagetkan bahwa hasil lab 27.000 tersebut tidak dicetak dan yang tercetak adalah 181.000. Kepala lab saat itu adalah dr M dan setelah saya komplain dan marah-marah dokter tersebut mengatakan bahwa catatan hasil lab 27.000 tersebut ada di Manajemen Omni. Maka saya desak untuk bertemu langsung dengan Manajemen yang memegang hasil lab tersebut.
Saya mengajukan komplain tertulis ke Manajemen Omni dan diterima oleh Og(Customer Service Coordinator) dan saya minta tanda terima. Dalam tanda terima tersebut hanya ditulis saran bukan komplain. Saya benar-benar dipermainkan oleh Manajemen Omni dengan staff Og yang tidak ada service-nya sama sekali ke customer melainkan seperti mencemooh tindakan saya meminta tanda terima pengajuan komplain tertulis.
Dalam kondisi sakit saya dan suami saya ketemu dengan manajemen. Atas nama Og (Customer Service Coordinator) dan dr G (Customer Service Manager) dan diminta memberikan keterangan kembali mengenai kejadian yang terjadi dengan saya.
Saya benar-benar habis kesabaran dan saya hanya meminta surat pernyataan dari lab RS ini mengenai hasil lab awal saya adalah 27.000 bukan 181.000. Makanya saya diwajibkan masuk ke RS ini padahal dengan kondisi thrombosit 181.000 saya masih bisa rawat jalan.
Tanggapan dr G yang katanya adalah penanggung jawab masalah komplain saya ini tidak profesional sama sekali. Tidak menanggapi komplain dengan baik. Dia mengelak bahwa lab telah memberikan hasil lab 27.000 sesuai dr M informasikan ke saya. Saya minta duduk bareng antara lab, Manajemen, dan dr H. Namun, tidak bisa dilakukan dengan alasan akan dirundingkan ke atas (Manajemen) dan berjanji akan memberikan surat tersebut jam 4 sore.
Setelah itu saya ke RS lain dan masuk ke perawatan dalam kondisi saya dimasukkan dalam ruangan isolasi karena virus saya ini menular. Menurut analisa ini adalah sakitnya anak-anak yaitu sakit gondongan namun sudah parah karena sudah membengkak. Kalau kena orang dewasa laki-laki bisa terjadi impoten dan perempuan ke pankreas dan kista.
Saya lemas mendengarnya dan benar-benar marah dengan RS Omni yang telah membohongi saya dengan analisa sakit demam berdarah dan sudah diberikan suntikan macam-macam dengan dosis tinggi sehingga mengalami sesak napas. Saya tanyakan mengenai suntikan tersebut ke RS yang baru ini dan memang saya tidak kuat dengan suntikan dosis tinggi sehingga terjadi sesak napas.
Suami saya datang kembali ke RS Omni menagih surat hasil lab 27.000 tersebut namun malah dihadapkan ke perundingan yang tidak jelas dan meminta diberikan waktu besok pagi datang langsung ke rumah saya. Keesokan paginya saya tunggu kabar orang rumah sampai jam 12 siang belum ada orang yang datang dari Omni memberikan surat tersebut.
Saya telepon dr G sebagai penanggung jawab kompain dan diberikan keterangan bahwa kurirnya baru mau jalan ke rumah saya. Namun, sampai jam 4 sore saya tunggu dan ternyata belum ada juga yang datang ke rumah saya. Kembali saya telepon dr G dan dia mengatakan bahwa sudah dikirim dan ada tanda terima atas nama Rukiah.
Ini benar-benar kebohongan RS yang keterlaluan sekali. Di rumah saya tidak ada nama Rukiah. Saya minta disebutkan alamat jelas saya dan mencari datanya sulit sekali dan membutuhkan waktu yang lama. LOgkanya dalam tanda terima tentunya ada alamat jelas surat tertujunya ke mana kan? Makanya saya sebut Manajemen Omni pembohon besar semua. Hati-hati dengan permainan mereka yang mempermainkan nyawa orang.
Terutama dr G dan Og, tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan customer, tidak sesuai dengan standard international yang RS ini cantum.
Saya bilang ke dr G, akan datang ke Omni untuk mengambil surat tersebut dan ketika suami saya datang ke Omni hanya dititipkan ke resepsionis saja dan pas dibaca isi suratnya sungguh membuat sakit hati kami.
Pihak manajemen hanya menyebutkan mohon maaf atas ketidaknyamanan kami dan tidak disebutkan mengenai kesalahan lab awal yang menyebutkan 27.000 dan dilakukan revisi 181.000 dan diberikan suntikan yang mengakibatkan kondisi kesehatan makin memburuk dari sebelum masuk ke RS Omni.
Kenapa saya dan suami saya ngotot dengan surat tersebut? Karena saya ingin tahu bahwa sebenarnya hasil lab 27.000 itu benar ada atau fiktif saja supaya RS Omni mendapatkan pasien rawat inap.
Dan setelah beberapa kali kami ditipu dengan janji maka sebenarnya adalah hasil lab saya 27.000 adalah fiktif dan yang sebenarnya saya tidak perlu rawat inap dan tidak perlu ada suntikan dan sesak napas dan kesehatan saya tidak makin parah karena bisa langsung tertangani dengan baik.
Saya dirugikan secara kesehatan. Mungkin dikarenakan biaya RS ini dengan asuransi makanya RS ini seenaknya mengambil limit asuransi saya semaksimal mungkin. Tapi, RS ini tidak memperdulikan efek dari keserakahan ini.
Sdr Og menyarankan saya bertemu dengan direktur operasional RS Omni (dr B). Namun, saya dan suami saya sudah terlalu lelah mengikuti permainan kebohongan mereka dengan kondisi saya masih sakit dan dirawat di RS lain.
Syukur Alhamdulilah saya mulai membaik namun ada kondisi mata saya yang selaput atasnya robek dan terkena virus sehingga penglihatan saya tidak jelas dan apabila terkena sinar saya tidak tahan dan ini membutuhkan waktu yang cukup untuk menyembuhkan.
Setiap kehidupan manusia pasti ada jalan hidup dan nasibnya masing-masing. Benar. Tapi, apabila nyawa manusia dipermainkan oleh sebuah RS yang dipercaya untuk menyembuhkan malah mempermainkan sungguh mengecewakan.
Semoga Allah memberikan hati nurani ke Manajemen dan dokter RS Omni supaya diingatkan kembali bahwa mereka juga punya keluarga, anak, orang tua yang tentunya suatu saat juga sakit dan membutuhkan medis. Mudah-mudahan tidak terjadi seperti yang saya alami di RS Omni ini.
Saya sangat mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembaca adalah karyawan atau dokter atau Manajemen RS Omni. Tolong sampaikan ke dr G, dr H, dr M, dan Og bahwa jangan sampai pekerjaan mulia kalian sia-sia hanya demi perusahaan Anda. Saya informasikan juga dr H praktek di RSCM juga. Saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini.
Salam,
Prita Mulyasari
Alam Sutera
nuhun i atas postingnya yang menarik...
BalasHapuskenalkan saya Agus Suhanto
Sama2 mas Agus...
BalasHapus