Rabu, 26 Maret 2008

Mencari Harta: Lillahi Ta'ala atau Karunisme dan Bermegah-megahan?

Dari Umar bin Khottob rarodiyallohu’anhu dia berkata: ”Aku pernah mendengar Rosululloh SAW bersabda: ’Sesungguhnya seluruh amal itu tergantung pada niat. Setiap orang akan dapat sesuai niatnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang berhijrah karena Alloh dan Rosul-Nya, maka hijrahnya kepada Alloh dan Rosul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrah untuk mendapatkan dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang menjadi tujuannya (niatnya).” [Bukhari-Muslim]



Seorang teman, Eko BS, menulis bahwa saat ini ada dua sisi ekstrim.:


 




Pada satu titik extreme adalah di mana seseorang memilih untuk melakukan pengorbanan 100%. Dia memilih meninggalkan mimpi pribadinya, dia meninggalkan kehidupan yg nyaman dan menyerahkan diri untuk menemani mereka yang membutuhkan dia. Di antara mereka, misalnya ada yang memilih menjadi dai, menjalankan tugas ke daerah-daerah terpencil, pedalaman, terbelakang untuk menyegarkan masyarakat dengan cinta-cinta Ilahi.



Pada satu titik extreme adalah di mana seseorang bekerja keras, berusaha sekuat tenaga meraih pencapaian demi pencapaian di pusat-pusat peradaban modern, berdiri tegak dengan karirnya di perusahaan-perusahaan kelas dunia. Mereka mencapai apa yang diinginkannya : finansial, jaringan dan kekuasaan. Di antara mereka ada yang berhasil mencapai Chief Executive Officer di perusahaan kelas dunia !



 



Seorang teman lain, akh Syauqie menulis:


 




Saya ingat sekali, dulu dia pernah "terjebak" dalam paradigma "anti dunia" alias tidak mau ngoyo mengejar dunia. Para tetangga sampai prihatin ama kondisi istri dan anaknya yang -maaf-seperti kurang gizi.



 


Di satu sisi ada orang yang ”Anti Dunia”, di sisi lain ada pula yang Hubbud Dunia (Cinta Dunia) sehingga melupakan ummat Islam lain yang kelaparan.



Pada akhirnya semua itu tergantung pada niat atau tujuan. Apakah niat kita untuk Allah ta’ala, atau sekedar jadi kaya agar keluarga tidak terlantar?



Banyak dalil atau versi yang dapat digali atau dijadikan hujjah. Namun hendaknya kita bisa menimbang dan menyusun berbagai dalil tersebut sehingga terbentuk susunan/puzzle yang benar.



Ada yang mengatakan bahwa orang yang memberi nafkah seorang yang kerjanya hanya ibadah saja itu lebih baik. Ini memang ada haditsnya. Seorang aktivis dakwah tidak bisa hanya berdakwah tanpa berusaha berbisnis / usaha untuk mencari nafkah. Jika tidak, dia akan jadi beban bagi masyarakat.



Di sisi lain juga banyak orang yang katanya mujahid atau aktivis dakwah getol mencari uang untuk memakmurkan keluarganya sehingga akhirnya takut kehilangan jabatan dan hilang kepeduliannya kepada ummat.



Ada pendapat umum bahwa orang yang ”baik” itu harus terjun ke politik. Sebab jika tidak, maka orang yang ”buruklah” yang akan meramaikannya sehingga korupsi, kolusi, dan nepotisme merajalela.



Itu benar. Namun sekali lagi kita harus tahu bahwa baik itu sifat. Bisa berubah-ubah seperti iman. Kata Nabi, iman itu kadang naik dan kadang turun. Seorang yang beriman bisa saja berzina. Pada saat itu imannya hilang. Dia juga bisa mencuri atau korupsi. Pada saat dia melakukan itu imannya kosong. Jadi kita benar-benar harus meluruskan nawaitu kita. Tidak jarang orang yang ingin ”membersihkan” akhirnya berubah sama kotornya dengan orang yang ingin dia ”bersihkan.”



Sebagai contoh, banyak ummat Islam yang terjun ke politik untuk ”membersihkan” dunia politik Indonesia. Tapi alih-alih jadi bersih, meski presiden, wapres, pejabat, dan anggota DPR dipegang ummat Islam, korupsi dan pemborosan makin merajalela. Rakyat makin banyak yang kurang gizi atau busung lapar bahkan banyak yang mati.



Kita hitung parpol yang mayoritasnya Muslim ada PKB (12% dari total suara), PPP (9%), PKS (7%), PAN (7%), PBB (2%), PBR (1%). Total ada 44% atau hampir separuh kursi. Bahkan di partai yang betul-betul sekuler seperti Golkar dan PDIP pun banyak Muslimnya. Tapi kenapa kehidupan rakyat kita semakin menderita?



Ini karena niat sebagian besar dari mereka jadi pejabat untuk jadi kaya. Bukan memperkaya ummat. Sehingga mereka diam saja melihat kemungkaran. Mereka tutup mata melilhat pemborosan. Mereka tidak berani bersuara ketika banyak rakyat busung lapar karena khawatir dicopot.



Sebagian juga ada yang begitu dapat uang dari perusahaan asing langsung ”berjihad” membela kepentingan perusahaan asing tersebut. Seorang anggota DPD yang gigih memperjuangkan agar blok MIGAS Cepu dikelola bangsa Indonesia sehingga hasilnya bisa dinikmati bangsa Indonesia cerita bahwa ada 2 ”Ikhwan” yang menemuinya agar menghentikan suaranya menolak perusahaan asing yang mengelola blok Cepu tersebut. Para ”Ikhwan” ini karena dapat uang akhirnya membela kepentingan perusahaan asing yang kafir ketimbang memakmurkan rakyat Indonesia.



Ada lagi pejabat dari partai Islam yang mengeluh kalau gajinya yang 20 juta per bulan itu kurang. Padahal gaji itu sudah lebih dari 128 kali angka penghasilan rakyat miskin di Indonesia. Alasannya dia tidak bisa ”optimal” bekerja meski anggaran Departemennya trilyunan rupiah.



Niat kaya yang tidak lillahi ta’ala ini akhirnya membuat banyak pejabat Muslim kehilangan kepedulian pada rakyat.



Contoh lain saya pernah menemani pak Budiman, pendiri Ar Rahman TV ke seorang tokoh Islam yang katanya ”Mujahid” untuk mendapatkan izin siaran dan frekuensi karena dia kenal dengan pejabat yang memiliki wewenang untuk itu. Sebetulnya izin itu sekedar tanda tangan di atas secarik kertas saja. Kalau pun ada biaya administrasinya paling di bawah rp 10 juta. Namun ”Mujahid” ini begitu ketemu langsung bertanya, ”Apa dealnya?” Dia seolah-olah menganggap itu sebagai peluang untuk mendapat uang. Bukan peluang untuk menjayakan Islam.



Kemudian ujung-ujungnya keluar angka Rp 19 milyar yang harus keluar untuk izin tahun pertama dan Rp 12 milyar untuk tahun berikutnya. Tak heran jika pejabat yang memegang wewenang itu sanggup mengadakan pesta pernikahan Rp 2 milyar lebih untuk anaknya sementara TV Islam pertama di Indonesia, Ar Rahman Channel, akhirnya bangkrut karena tidak bisa siaran secara terrestrial (hanya bisa lewat parabola saja) sehingga penonton dan iklannya pun sedikit.



Itu contoh niat kaya yang akhirnya tidak membawa sumbangsih untuk Islam.



Begitu banyak tokoh pemuda yang berjuang membela rakyat dengan resiko kena peluru akhirnya ketika jadi pejabat lupa kepada rakyat. Entah itu tokoh pemuda ORBA, atau pun tokoh pemuda Reformasi sekarang ini.



Begitu jadi pejabat mereka lebih sibuk memperkaya diri dan keluarganya. Mereka tidak bersuara lagi ketika rakyat justru lebih menderita. Mereka takut kehilangan jabatan.



Islam atau rakyat hanya dijadikan barang dagangan agar mereka bisa jadi ”Tokoh Islam” atau ”Tokoh Pembela Rakyat”. Begitu mereka besar dan dapat jabatan dan kekayaan dari ketokohannya, mereka lupa karena memang niat awalnya hanya untuk memperkaya diri. Bukan mensejahterakan rakyat.



Memang Islam menyuruh ummat untuk mencari rezeki agar mereka kuat:



”Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” [Al Jumu’ah:10]



Hanya saja, sesuai sunnah Nabi kita, kekayaan yang mereka dapat itu sebagian besar diinfakkan kembali untuk ummat Islam. Bukan untuk keluarganya.



Sering Nabi bersedekah sehingga justru uangnya tidak tersisa sama sekali sehingga Allah menegur agar tidak terlalu pemurah sehingga menyedekahkan semua harta yang ada tanpa sisa:



” Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” [Al Israa’:29]



Para sahabat Nabi seperti Usman, Umar, dan Abu Bakar adalah orang kaya, tapi mereka menginfakkan sepertiga, separuh, bahkan seluruh harta untuk Islam. Nah sepertinya semangat sedekah/memberi inilah yang kelihatannya kurang pada mayoritas ummat Islam mau pun motivator Islami. Yang ada cuma kayaaaa saja.



Sebaliknya miskin karena kepepet, meski sebagian sahabat ada yang seperti itu, namun itu bukan yang dilakukan Nabi. Nabi itu jika mau kaya gampang. Tahan saja seperlima dari harta yang dia dapat, niscaya Nabi akan sangat kaya karena kerajaan Romawi dan Persia itu sudah hampir berada di genggamannya.



Nabi ketika ditawari jabatan, kekayaan, dan wanita agar menghentikan dakwah Islam menjawab, ”Seandainya matahari ditaruh di tangan kiriku dan rembulan di tangan kananku, niscaya tidak akan merubah pendirianku untuk menyebarkan Islam.”



Ini beda kan dengan sebagian besar tokoh Islam yang takut jabatan dan kekayaannya lepas sehingga diam melihat kemungkaran seperti korupsi, pemborosan, dan ketidak-adilan. Bahkan sebagian ada yang jadi agen asing yang membela perusahaan-perusahaan asing sehingga puluhan juta hektar hutan, perkebunan, dan pertambangan dikuasai oleh perusahaan asing sementara rakyat banyak justru tidak kebagian. Banyak yang jadi Abdul Kafiruun atau Budak Harta.



Umumnya ummat Islam keinginan kayanya masih berpaham ”Karunisme” atau orang yang bermegah-megahan seperti surat At Takatsuur. Bukan seperti Nabi. Orang kaya yang dermawan jarang... kata seorang ustad.



Ketika jadi Nabi dan Penguasa Jazirah Arab pun Nabi Muhammad menyumbangkan sebagian besar hartanya sehingga tidak pernah keluarga beliau kenyang 3 hari berturut-turut seperti dituturkan ’Aisyah istri Nabi. Bahkan pernah Nabi mengganjal perutnya dengan batu karena lapar. Umar bahkan menangis terharu melihat punggung Nabi yang berbekas akibat tidur di atas pelepah kurma.



Ibaratnya Nabi Muhammad itu kalau mau dapat Rp 100 milyar bisa. Tapi beliau infakkan yang Rp 99 milyar dan menyisakan hanya Rp 1 milyar untuk rumah dan kendaraan keluarganya. Ini tentu jauh beda dengan orang yang hartanya misalnya Rp 50 trilyun, tapi paling banter hanya menyumbang 0,1% saja atau bahkan tidak sama sekali. Bahkan dalam berusaha sering merugikan orang dan negara trilyunan rupiah. Ini juga beda dengan orang sederhana karena kepepet yang memang hartanya cuma Rp 50 juta dan menyumbang hanya Rp 500 ribu.



Sebaliknya saya menerima SMS dari seorang teman bahwa seorang tokoh yang sederhana yang meski jadi anggota DPR tapi tetap gelayutan di bis disidang oleh oknum petinggi partai Islam karena memprotes elit partai yang hidup mewah sementara para kadernya hidup dalam kemiskinan.



Bagaimana para elit partai tersebut bisa mensejahterakan rakyat kalau mereka sendiri enggan mensejahterakan kadernya?



Ketika saya konfirmasi dengan seorang teman yang bernama Eko W, teman yang pengusaha ini berkata, itu memang benar ”H” yang menyidangnya katanya. Dan saya kalau bisnis malas kalau lewat parpol, apalagi parpol Islam. Pejabat Parpol Islam lebih parah lagi. Cuma jadi makelar saja belum apa-apa sudah minta komisi 20% katanya sementara pejabat parpol yang biasa malah cuma 5%.



Pejabat tersebut sebenarnya bisa memberdayakan ummat Islam dengan membantu pengusaha Muslim (tentu dengan menerapkan profesionalitas). Tanpa diminta imbalan pun, orang bisa berterimakasih. Cuma itu tidak dilakukan. Yang diminta adalah komisi dan komisi.



Itulah niat kaya tanpa dilandasi niat lillahi ta’ala. Orang baik atau tokoh Islam pun bisa terjerumus karena iman kita selalu naik turun. Kita harus terus introspeksi agar tetap bisa istiqomah.



Saat ini rakyat sengaja dimiskinkan secara struktural sehingga banyak rakyat yang tewas karena kelaparan (baca: www.infoindonesia.wordpress.com ). Ini karena Negara sering menggusur rakyat tanpa ganti rugi yang sepadan. Sering pasar ”kebakaran” (atau dibakar?) ketika akan direnovasi sehingga modal para pedagang habis terbakar. Begitu pasar baru jadi seperti di pasar Tanah Abang, para pedagang lama yang umumnya Muslim (seperti pedagang Arab, Padang, dan Bugis) tergeser karena modal mereka habis terbakar dan diganti oleh pedagang non Muslim.



Puluhan juta hektar hutan, perkebunan, dan pertambangan yang harusnya bisa digunakan rakyat untuk mencari uang diserahkan ke berbagai perusahaan asing. Para pengusaha dengan sistem Kapitalis Neo Liberalisme dibiarkan menguasai 100% usaha sementara BUMN diprivatisasi dijual ke segelintir pemilik modal. Akibatnya sebagai contoh, 100% perkebunan kelapa sawit dikuasai oleh segelintir pengusaha terkaya di Indonesia. Begitu harga minyak kelapa melonjak dari Rp 6.000/kg jadi Rp 16.000/kg pemerintah tak bisa apa-apa karena perkebunan itu 100% dikuasai oleh para pengusaha dan para pengusaha yang menaikan harga minyak itu adalah penyumbang dana kampanye para politikus kita.



Boleh dikata para pejabat yang mayoritas Muslim hanya bisa berdiam diri melihat rakyat kelaparan dan ketidak-adilan ini karena mereka sudah kenapa penyakit Hubbud dunia. Kenapa Indonesia yang pejabatnya mayoritas Muslim ini sering menempati ranking 5 besar dalam hal korupsi? Karena cinta harta.



Dari Tsaubah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian seperti menyerbu makanan di atas piring. Berkata seseorang: Apakah karena jumlah kami sedikit waktu itu? Beliau bersabda: Bahkan kalian pada waktu itu banyak sekali, akan tetapi kamu seperti buih di atas air. Dan Alloh mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn. Seseorang bertanya: Wahai Rasulullah, apakah wahn itu? Beliau bersabda: Mencintai dunia dan takut mati”. (Riwayat Abu Dawud no. 4297. Ahmad V/278. Abu Na’im dalam Al-Hilyah)



Ahmad Sofyan seorang teman menulis satu doa, ”Ya Allah...letakkanlah dunia di tangan kami. Jangan di hati kami”



Bagaimana pun juga kita mencari rezeki, maka biarlah kekayaan itu diletakkan di tangan kita hingga sebagian bisa kita infakkan untuk Islam. Jangan sampai kita mencintai kekayaan sehingga jadi malas sedekah dan tega menempuh jalan yang haram dengan menjadi agen asing, Abdul Kafiruun, dan Budak Harta.



Semoga kita semua diberi kesabaran oleh Allah SWT untuk selalu istiqomah di jalan Allah.

1 komentar:

  1. "Yaa Allah, letakkanlah dunia ditanganku, jangan letakkan
    dihatiku..." ini hadits bkn pernyataan siapapun atopun ahmad sofyan

    BalasHapus